Bertemu Jiwa, Setitik Benih Pemikiran Dan Semangat

Hari itu pelajaran di sekolah SMA-ku tidak ada sehingga aku pulang lebih cepat dari waktu sekolah normal. Tidak ingat, mengapa saat itu tidak ada pelajaran. Aku terburu-buru pulang ke rumah karena perut lapar. Sebagaimana biasa, hari itu ayah yang dalam masa pengabdian agar dapat menerima kembali pengelolaan sawah waris yang ada di seberang jurang, Bhakti Sraga selama setahun, sedang ada ayahan subak dan seperti biasa, ada pembagian lawar yang dikerjakan oleh sesama warga subak. Ayah entah ke mana tetapi lawarnya dibiarkan di rumah, setahuku ayah kembali ke sawah itu. Tak sabar, aku mengambil nasi dan lauk lawar itu, menaruhnya dalam piring yang sama dengan nasi.
Hap, masuklah suapan pertama nasi dan lawar ke mulut. Mendadak tercium bau amis sangat kuat, bau dari segumpal darah mentah yang tercampur dalam lawar tersebut. Mual di perut tiba-tiba muncul dengan kuatnya. Nasi dan lawar yang menjadi suapan pertama langsung tak kuasa dipertahankan, tersembur dari mulut. Hendak muntah tapi perut kosong, tidak ada yang bisa dimuntahkan. Lapar tapi mual, tak bisa makan, tak bisa menelah sebiji nasi pun bahkan walaupun nasi yang telah dibebaskan dari lawar dan darah mentah.
Aku terduduk menahan lapar dan mual, merenungi masaku dahulu. Tiba-tiba teringat, betapa aku tidak perhatian dengan masa dimana terjadi hal-hal yang sama dengan saat itu. Lapar, mual dan tidak bisa makan, bahkan terpaksa menahan lapar seharian. Tapi tak pernah terpikir bahwa itu adalah derita, itu adalah kesulitan dan seharusnya diselesaikan. Hari itu, baru perhatian bahwa hal seperti itu adalah kesulitan yang seharusnya terjadi cukup sekali saja, diselesaikan dan di hari berikutnya tidak lagi membebani hidup.
Kupikir, darahlah yang membuatku mual. Salah! bau amis-lah yang membuatku mual. Jadi, hari ini aku mual karena bau amis darah sangat kuat. Daging pun amis, jadi aku pun akan mual karena daging. Ikan dan telur pun amis, dapat membuatku mual dan mengulang derita yang terjadi saat itu. Aku ingin berhenti dari derita itu, aku ingin berhenti menderita seperti itu. Ada kalanya aku makan laar dan masakan daging buatan paman yang terkenal pandai memasak dan itu tidak membuat mual. Tapi, orang yang pintar memasak tidak banyak, lebih sering bertemu yang kurang pintar memasak dan derita lawar saat itu akan terulang. Ada penyelesaian yaitu aku harus pintar memasak daging, tapi banyak hal harus dipelajari dan ini menyebabkan waktu belajar memasak sedikit, dan ini tentu saja berpeluang menyebabkan derita seperti saat itu. Yang jelas, tersisa sebuah penyelesaian, aku harus menghentikan makan makanan yang mengandung penyebab mual dan mengharuskan menahan lapar seharian tanpa keinginan puasa.
Kuputuskan untuk meninggalkan daging dan makanan yang saat mentah atau setelah dimasak berbau amis. Kuputuskan menjadi seorang vegan. Simak, mengapa aku dapat berpikir untuk meninggalkan daging alias vegetarian/vegan.
Merenung terkait masa-masa yang telah berlalu terasa seperti masa kecilku ketika pagi bersama ayah, duduk sejak subuh dan masih gelap, di beranda rumah yang agak tinggi daripada hamparan sawah di timur rumahku. Hidupku yang berlalu seperti hari-hari itu, gelap tidak ada warna, aku ada tetapi tidak ada yang tahu karena gelapnya. Aku sih ada dan memang aku merasa ada, duduk di beranda tetapi jika ada sesuatu di tengah sawah, mereka tidak bisa tahu dan tidak melihatku dan tidak ada sesuatu pun di sawah dan di depanku merasa penting untuk memperhatikanku yang sedang duduk di beranda rumahku itu.
Masa merenungi hidupku seperti duduk di beranda rumah itu, duduk sendiri menunggu sesuatu yang kuharapkan muncul. Langit kemudian makin terang, sawah dan semua di depanku kemudian menampakkan warna, aku makin senang dan ketika matahari itu terbit di ufuk timur, betapa senangnya diriku. Ya, matahari itulah yang aku tunggu, benih cahaya itulah yang aku harapkan muncul agar duniaku berwarna dan indah. Simak mengapa aku dapat bermimpi melihat matahari terbit.
Ketika matahari itu meninggi, aku terbangun dan rasa ku demikian senang, bahagia dan banyak inspirasi terbentang di pikiranku. Beberapa hal yang sebelum hari itu belum terpikir jawabannya, terpikir jawabannya. pepohonan tampak berbinar bersinar berseri-seri. Semuanya memantulkan sinar yang entah darimana datangnya, bahkan lebih indah daripada sekedari disinari oleh mentari.
Kuputuskan memulai kehidupan vegan ketika memulai tahun ajaran baru kelas 3 SMA di tahun 1996.
SB